Short Story

Selasa, 10 Maret 2020

Sedari Dulu

Ini bukan kisah sendu, Tapi kalau kalian ingin sedih dengan senang hati

Aku seorang perempuan yang belum berumur sampai kepala tiga.
Sedari dulu sudah terbiasa hidup dibawah tendensi.
Berjalan dengan arah yang tidak sesuai dengan keinginan tapi searah dengan kemauan seseorang.

Sebenarnya tidak ada yang dibenarkan. Karena aku salah dan mereka salah
Aku salah satu anak penurut dengan sikap diam namun hati berontak
Aku salah satu anak yang berhasil dalam segala bidang tapi aku sangat gagal dalam hal yang aku mau

Disini sebuah kisah tentang rasa, kasih, cita, lara, juang, asa, dan hati nurani.


Suatu Saat Nanti Kita Berada di Titik Itu

Selamat sore "_"

Suatu Saat Nanti

Suatu saat nanti
ketika semuanya hampir selesai dan sudah selesai
kalian akan mengerti apa yang dimaksud dengan kebahagiaan
Bahwa kebahagiaan tidak melulu soal harta , pun tidak melulu soal uang

Suatu saat nanti
ada hal yang lebih penting yang seharusnya kau pikirkan selain harta dan kemampuan hidup

Aku ....
Korban Ego mu
entah aku yang salah, atau kau yang benar

Suatu saat nanti
Entah aku yang akan mengerti, atau kau yang akan mengerti

Bahwa Bahagia hanya soal Hati


Bandung, 10 Maret 2020

Sabtu, 28 Februari 2015








Aku ingin pergi dari semua esensi realita
penatku sudah selekat pekat

Pergi dan menghilang dalam kurun waktu yang tak terhingga

Ahh nona, sudahlah..
bercermin di atas kertas, jangan terlalu sering kau bercermin diatas tumpukan arang
Kau hanya butuh melihat ombak yang paling liar.
Kau hanya butuh hening malam saat semua mata umat terpejam.
Kau hanya butuh tabung oksigen lima kilogram agar darahmu mengalir lancar.
Kau hanya butuh lensa penjelas saat pandanganmu sudah mulai suram.

Tunggu, 
berdiri dan tetap diam disana. 
Jangan beralih dan jangan mencoba pergi dari semua esensi realita.
Karena tamparannya tidak sesakit saat kau di tampar oleh ombak yang paling liar. 
Tunggu,
berdiri,
dan tetap diam disana nona manis.

Jumat, 02 Januari 2015

KEDAI ES KRIM

Kedai Es Krim
Yonita Adriyani
Ini sudah mangkuk es krim kedua yang aku lahap malam itu, tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang sesekali memalingkan tatapannya dari Koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras diluar sana, ada gadis yang masih menikmati es krim sampai mangkuk kedua, tenang saja pak tua gumam ku dalam hati mungkin akan ada mangkuk yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Aku tak peduli.Tatapanku hanya menatap kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Me-rewind semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya, kalo bukan dari dirinya.
***JJJJ***

3 tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambut nya yang agak sedikit berantakan, dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi.
            “Gimana?” tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat ekspresiku yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan.
            “Tunggu!” jawabku sambil memutar mata seolah berpikir serius mendeskripsikan Sesuatu yang sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku seperti tester sejati.
            “Enaak !!” Seruku.
            Dia tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang menipu. Aku lantas mengerenyit sambil mengusap pipiku yang dijewernya.
            Laki - laki berbadan kurus dan tinggi ini bisa di bilang tidak terlalu addicted dengan es krim tetapi entah mengapa ia sangat senang mengajakku mencicipi es krim. Ray termasuk golongan cowok yang cool dan tak banyak bicara, Terkadang Ray tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.
            Sore itu, Ray dengan sengaja menculikku dari tempat kerja baruku, ia mengajakku berkunjung ke kedai es krim  dengan interior yang terlihat seperti di museum–museum sejarah, disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda, semua tua.
            Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena antusias dengan apa yang ia lakukan atau ia ceritakan.

            Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Ray seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Mereka memang benar. Kalau kita sepasang kekasih romantis. Dia sangat mencintaiku. Dan aku sangat mencintai dia (kekasih orang).

***JJJJ***
2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama. Ray tersenyum simpul penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja abu-abu bermotif kotak-kotaknya kali ini rambutnya terikat rapi.
“Happy Birth Day Citra” Ray menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !!. Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart yang ia bawakan untukku.
            “Barusan make a wish apa?” Pertanyaan Ray membangunkan ku dari lamunan akibat pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku.
            “Menurut kamu?” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.
            “Masih dengan doa yang sama kah?” tanya Ray menggoda.
            “Masih dengan menyebut nama yang sama dalam doa yang sama” Citra tersenyum sangat manis.
            Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk dihadapanku seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool, dalam senyumnya terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak. Tetapi keberadaanku hanyalah sebuah kisah yang tersembunyi didalam kehidupan nyata Ray.
***JJJJ***
            Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air kebumi, menandakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua interiornya tetap tua di makan usia.
           Dua jam yang lalu, aku dan Ray duduk bersama di kedai ini.
            “Kenapa gak ada kabar Cit?” Ray menatapku serius. Nada suaranya dingin.
Aku tak sanggup memandang Ray, hanya tertunduk dan diam, lidah ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.
            “Aku sibuk Ray” Aku berbohong. Selama setahun aku menghilang dan tak pernah mengabari dia sedikitpun. Padahal ia selalu mencari kabar tentangku. aku hanya ingin menghentikan perasaan ini. Tapi ternyata sulit. “Maaf Ray, aku memang keterlaluan” ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.
            Setelah mendengar kata maaf itu Ray langsung mehenyakan punggungnya kesandaran kursi, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkas nya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka ketika kesempatan bekerja di luar kota itu datang aku tak menyiakan nya.
            “Tapi kau baik-baik saja kan?” Ucap nya tenang.
            Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku tak boleh menangis di depan nya, ini hanya akan membuatnya semakin cemas. Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu perasaan Ray sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun Ray selalu baik dan memaafkanku yang bertindak bodoh.
            “Lalu bagaimana denganmu Ray?” ucapku terbata.
            Ray tak menjawab, dia menatapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan membingungkan bagi Ray sehingga membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini. Namun Ray menyerah, dia menghenyakan kembali punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini pun mencair.
***JJJJ***
            Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Ray. Scene potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas, berwarna merah, pemberian Ray dua jam yang lalu.
            Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik benda itu, dan entahlah lah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat isinya.
            Butuh setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat pemahamanya, bahwa tak pernah ada yang berubah dari sikap Ray kepadaku, dia selalu ada untukku, melindungiku, menyayangiku. Aku tak mau ambil tindakan serta resiko untuk menyatakan nya dan malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Ray terluka.
            Hidup adalah pilihan. Seandainya aku tidak pernah pergi dan berjuang dengan cara bertahan mungkin nama di kertas tebal berwarna merah itu adalah aku. Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terima kasih, aku hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih campur aduk dan terasa sesak.
            Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Stasiun hendak meninggalkan kota ini, dan aku berjanji, aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tindakan bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu melupakan orang yang kita sayangi. Rasa ini tidak akan pernah berhenti, tetapi kisah ini harus terhenti. Rasa sakit ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es krim akan menjadi obatnya, bukan?.


Jumat, 04 April 2014

Surat Yang Tak pernah Sampai (dee)

suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada dirimu sendiri.
kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam. tentang dia.
sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dan mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya, untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa.
akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya – dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait.
dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan api dari benda-benda yang ia hanguskan – bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila – beterbangan masuk ke matanya.
semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.
tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan cinta.
kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati.
betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala. dan itulah tujuan kalian.
kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik. maka tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. cukup satu.
satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. betapa kamu rela membatu untuk itu.
tapi, hidup ini cair. semesta ini bergerak. realitas berubah. seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar.
hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. kamu, tidak terkecuali.
kamu takut.
kamu takut karena ingin jujur. dan kejujuranmu menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.
dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. kata “sejarah” mulai menggantung hati-hati di atas sana.
“sejarah kalian”. konsep itu menakutkan sekali.
sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.
skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai sang kekasih impian, sang tujuan, sang inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia.
sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama cinta dan perjuangan yang tidak boleh sia-sia.
kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.
lama baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?
sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
cinta butuh dipelihara.
bahwa di dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.
cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu, entah kapan dan kenapa.
cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan. karena cinta adalah mengalami.
cinta tidak hanya pikiran dan kenangan.
lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. interaksi. perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis.
karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah sujud.
kamu ingin berhenti memencet tombol tunda.
kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban.
dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini.
di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa.
kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua. kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa?
jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
dia yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.
dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.
sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai.
tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki yang beranjak pergi yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata “jangan” yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai.
bagian dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati yang sedahsyat itu.
dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah.
dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang.
dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus.
atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, bintang selatan. yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. yang mendamba untuk mengalami.
aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu.
surat-surat yang tak pernah sampai.

Jumat, 31 Januari 2014

ksatria, puteri dan bintang jatuh *dee*

Aku bosan diam,

Aku ingin berteriak lantang,

Menembus segenap celah dan semua lubang,

Merasuk ke ujung gendang telinga semua orang,

Aku mencintainya……..

Layakkah cinta hidup semu laksana hantu?

Yang melayang bagai bulu panah,

Aku ingin menjejak tanah,

Mengambang membuatku lelah,

Aku ingin memiliki,

Aku ingin diakui,,

Ksatria,,

Aku ingin sekali tuli,

Sekawanan samurai terbuat dari huruf datang menyerang,

Mencacah harga diriku seperti daging cincang,

Mereka menghinaku,

Karena aku cuma bisa diam,

Mereka menyumpahiku,

Karena aku rela diabaikan,,

Ku merasa begitu kerdil di tengah keluasaanku,

Rintikmu raksasa dalam mungil tetesmu,

Engkau menyelimuti dengan dingin,

Dan semakin merapat,

Semakin membara alam ini,

Jutaan engkau kini turun membanjiriku,

Takkan pernah ku meluap, Ksatria,

Ku gali tanahku lebih dalam,

Dan ku buka semua celah untuk menyerapmu,,

Dulu aku adalah pujangga,

Seorang arwah pujangga tersasar masuk ke dalam tubuh mungilku,

Dulu aku berkata-kata bak mutiara nan wangi,

Dan mutiara sangat aneh di tengah batu kali,

Pikiranku bagai seribu persimpangan dalam sekotak korek api,

Karena itu aku anomali,,

Sudah ku menangkan taruhan ini,

Bahkan dengan amat adil,

Jauh sebelum engkau menyerahkan kertas dan pensil,

Karena rinduku menetes sebanyak tetes gerimis,

Tidak butuh kertas atau corengan garis,

Genggamlah jantungku dan hitung denyutannya,

Sebanyak itulah aku merindukanmu, Ksatria,,

Aku mencintaimu sepenuh hati, Ksatria,

Tak peduli lagi tepat atau tidak,

Tak peduli kau menyadari aku hilang atau tampak,

Tak peduli kau bahagia dengan diriku atau cuma dengan sel otak,,

Karena ini ia dinamakan dengan si jantung hati,

Memompa lembut seperti angin memijat langit,

Berdenyut lincah seperti buih yang terus berkelit,

Dan darah cinta adalah udara,

Dengan roh rindu yang menumpang lewat di dada,,

Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup,

Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara,

Engkaulah matahari firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara,

Kau hadir dengan ketiadaan sederhana dalam ketidakmengertian,

Gerakmu tiada pasti,

Namun aku terus di sini mencintaimu,

Entah kenapa,,

Aku bukan orang yang lemah,

Klo aku lemah, sudah ku bersembunyi di dasar lembah,

Namun aku orang yang kuat,

Dengan dagu tercuat,

Menggenggam kejujuran erat-erat,

Tapi kalau Cuma jadi hantu,

Maka aku pun tak tahu,,

Karena hanya bersama kamu,

Segala sesuatunya terasa dekat,

Segala sesuatunya ada,

Segala sesuatunya benar,

Dan bumi hanyalah sebutir debu di bawah telapak kaki kita,,

Aku adalah manusia statistis,

Statistik kita tidak bagus, Ksatria,

Aku adalah manusia yang butuh pengakuan,

Tak ku temukan seorang pun yang mengakui kita,,

Rasa memiliki itu hidup seperti sel,

Semula satu kemudian terpecah jadi seribu satu,

Dan aku menyimpan sel-sel yang sangat hebat, Ksatria,

Ia akan terpecah di luar kendali cinta itu sendiri,

Sel ini terus bertambah dan merambah,

Mereka hidup melingkari kita,

Semenjak kita saling mencinta,

Suka tak suka,,

Ajari aku menjadi naif,

Senaif dirimu yang masih bisa tertawa,

Senaif kebahagiaan di alam kita berdua,

Karena setiap detik di kala kenyataan mulai bersinggungan,

Aku rasakan sakit yang nyaris tak tertahankan,

Atau ajarkan aku menjadi penipu,

Apabila kau ternyata merasakan sakit itu dalam tawamu,

Aku letih, Ksatria,,

Semua perjalanan hidup kita adalah sinema,

Bahkan lebih mengerikan, Ksatria,

Darah adalah darah,

Dan tangis adalah tangis,

Tak ada pemeran pengganti yang akan menangging sakitmu,,

Share thi:








Selasa, 29 Januari 2013

Tres !!! (Adriyani Yonita) Published Majalaah Pesona Muda




Debu - debu yang mengepul digilas roda-roda kendaraan raksasa.  Sudah empat kilometer jalan kutempuh. Itu artinya setengah perjalanan lagi masih menanti. Aku sedikit mengurangi kecepatan saat mulai memasuki jalanan yang dinaungi pohon-pohon besar. Angin dari sela-sela dedaunan yang hampir menguning mempermainkan seragam putih abu-abuku. Ku kayuh sepeda merahku dengan penuh kerja keras. Warna catnya yang sudah tidak kentara dan suaranya yang berkeriut keriut selalu menemani pagiku mengantarkan ke rutinitas kegiatan setiap senin hingga sabtu yang selalu sama. Pergi ke sekolah setelah itu pulang dengan sepeda merah lusuhku. Senin pagi ini masih seperti biasanya. Tidak ada sesuatu yang berbeda hari ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Keningku yang licin mulai basah karena keringat mengucur deras. Semangatku tetap sama seperti 3 tahun yang lalu. Hari ini adalah hari terakhir aku mengikuti percobaan ujian negara.
            “Hai Tres”, sapa ami saat Tres sedang memarkirkan sepeda di parkiran sekolahnya.
            Tres yang menyadari ada yang menyapa menoleh sambil mengembangkan senyumnya dan menjawab sapaan Ami “Hai Ami, pagi ini kamu begitu bersemangat,,”.
            “Iya memang sengaja aku datang pagi, aku mau belajar terlebih dahulu disini. Apa kamu juga Tres?”, tanya Ami antusias.
            “Aku pun sama sepertimu”, tanggap Tres singkat. “Baiklah, sepertinya aku akan langsung ke kelas Ami, So,, keep spirit for you. Good luck ya untuk try out hari ini. Daahhhh”, kata Ami pergi terburu-buru sambil melambaikan tangan.
            “Oh oke Tres, thanks ya dan good luck juga”, ikut membalas lambaian tangan Tres.
            Tres salah satu siswa yang memang tergolong pendiam sehingga ia hanya berteman dengan orang-orang yang menurutnya nyaman dengannya. Wajar saja kalau dia tidak begitu banyak teman dan selalu sendiri kalau di sekolah. Tapi hal itu tidak dijadikan kendala untuk menuntut ilmu di sekolahnya. Walau bagaimanapun ia tetap masih bisa berkomunikasi dengan baik antar teman-teman lainnya.
            Pertanyaan ini itu mengenai ujian negara terlontar dimana – dimana. Topik pembicaraan tentang ujian negara tidak hanya menjadi brand topic di kelas Tres saja. Di kelas lain pun ternyata sama. Bahkan mungkin di seluruh Indonesia.
            “Tres, aku yakin kamu pasti mendapatkan nilai bagus di ujian akhir ini”, kata Vera yang baru saja datang dan menghampiri meja Tres sambil menyeruput habis susu kemasannya.
            “hehehe, kamu bisa saja Ver, kalau nilaiku bagus itu pun berkat kerja keras aku selama ini Ver. Aku yakin kamu pun akan mendapatkan hasil yang lebih bagus”.
            “hahaha,, bisa saja kamu Tres. Tapi memang akhir – akhir ini aku lebih giat belajar karena aku ingin sekali membuat kedua orang tua bangga bersekolah di tempat sekolah yang semahal dan sebagus ini”, sekolah mereka memang sekolah elite untuk anak-anak gedongan. Vera sebenarnya siswi baru di sekolah ini. Ia mendapatkan beasiswa untuk bisa melanjutkan sekolah disini. Awalnya ia hanya bersekolah di sebuah desa terpencil yang berada di sebelah timur Indonesia. Namun berkat kepintarannya ia mampu mengikuti pelajaran yang diterapkan disekolah ini. Alhasil ia diterima dengan hasil yang memuaskan dan beasiswa pun didapatnya dari satu tahun yang lalu.
            “Aku yakin pasti kamu bisa mendapatkan yang terbaik Ver”, kataku memotivasi dan memberi dorongan kepada Vera agar ia merasa lebih tergugah semangatnya.
            Tiba – tiba saja celetukan kurang mengenakkan terlontar dari mulut Windi. “Keliatan dari mukanya kayanya udah ada yang yakin banget nih ujiannya bakal nilai bagus, tapi kok ada bau – bau curang ya disini”, melirik ke arah Tres dengan lirikan sinis dan senyuman kecut. Windi memang bukan teman sekelas Tres dan Vera. Namun mereka satu angkatan hanya beda kelas. Salah satu teman Windi yaitu Laras adalah teman sekelas Tres dan Vera.
            Tres hanya menjawabnya dengan diam dan senyuman santai dan kembali berkutat dengan bukunya.
            “Maksudnya apa Win?”, tanya Vera penasaran. “kamu menuduh kita melakukan kecurangan?”
            “Bukan lo Ver, tapi tuh si Tres. Gue kasian aja sama lo. Takutnya nanti otak lo terkontaminasi lagi sama kecurangannya”.
            “Curang?”, wajah bingung Vera mulai muncul.
            Tres masih konstan dengan diamnya dan senyuman santainya.
            “Maksudnya apa sih Tres?”, tanya Vera.
            “gini Ver...................”, Lagi – lagi setiap Tres mau bicara selalu disela oleh Windi.
            “Ya gitu deh Ver, dia tuh sebenarnya udah dapat bocoran kunci jawaban makanya kenapa dia yakin banget nilainya bakal bagus. Emangnya lo ga curiga ya Ver sama dia?. Kalau gue sih ya udah curiga dari kemarin – kemarin pas dia dipanggil sama Kepala sekolah berkali – kali. Apalagi Pak Suwito ayahnya penyandang dana terbesar di sekolah ini. Pastilah ada sesuatu dibaliknya.”, jelas Windi panjang lebar.
            “Apaaa?”, Vera kaget sejadi- jadinya. Mana mungkin Tres yang ia kenal seperti itu. Memang minggu-minggu ini ia sering dipanggil dan menemui Kepala Sekolah. Namun menurut pengakuannya ia menghadap kepala sekolah hanya membicarakan mengenai beasiswa prestasi yang akan didapatkannya apabila nilai di semester ini naik. Yang Vera baru ketahui bahwa ternyata ayahnya Tres salah satu penyandang dana terbesar di sekolahnya. Seorang Tres yang begitu sederhana ternyata anak dari penyandang dana terbesar.
            “Balik lagi ke kamu sih Ver mau percaya atau ga? Tapi buktinya Tres Speechless tuh”, melirik ke arah Tres.
            Tres diam menyimpan geram. Saat Tres akan menklarifikasi, Vera pergi begitu saja meninggalkannya.
*** *** ***
            “Mau apalagi kamu kesini?”, tanya Vera ketus.
            “Aku Cuma mau klarifikasi pernyataan yang tadi Windi omongin Ver. Sebagian yang Windi omongin salah”.
            “Sebagian ? jadi kamu bener optimis karena kamu udah diberi bocoran sama Bu Nina?, ahh sudahlah sekarang topeng kamu udah terbuka Tres. Ternyata kesederhanaan kamu itu Cuma menutupi kecurangan kamu”, kata – kata pedas keluar dari mulut Vera. Vera bergegas meninggalkan Tres.
            Tres dengan sigap mencegah Vera pergi. Ia harus segera membersihkan namanya saat itu juga. “Aku memang anak Suwito seorang penyandang dana terbesar di sekolah ini. Tapi aku gak pernah dapat bocoran kunci jawaban yang seperti Windi omongin Ver. Dan satu lagi yang harus kamu tahu, kesederhanaan aku karena aku hanya ingin menjadi diri sendiri. Bukan karena apapun. Kalau memang kamu gak percaya sama aku. Aku punya bukti – bukti ini”, jelas Tres sambil menyodorkan Map berisi surat – surat beasiswanya.
            Vera terdiam sejenak.”Kenapa selama ini kamu gak pernah cerita kalau ayah kamu adalah penyandang dana di sekolah ini? Dan kenapa kamu mau berteman dengan aku yang seorang anak miskin? Lalu kenapa Windi begitu benci sama kamu Tres sampai – sampai dia mau menjatuhkanmu seperti itu?”.
            “Pa Suwito hanyalah seorang ayah untukku Ver. Tidak lebih. Jadi yang aku banggakan hanyalah dia seorang ayah. Bukan yang lain. Miskin atau kaya itu relatif bukan, dan kenyamanan untuk berteman pun gak harus melihat dari kalangan kaya atau miskin kan. Kalau untuk Windi sampai saat ini pun aku belum tahu kenapa ia bisa begitu membenciku Ver. Yang pasti aku masih membuka pelukan lebar untuk Windi. Pelukan persahabatan”.