Short Story

Jumat, 02 Januari 2015

KEDAI ES KRIM

Kedai Es Krim
Yonita Adriyani
Ini sudah mangkuk es krim kedua yang aku lahap malam itu, tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang sesekali memalingkan tatapannya dari Koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras diluar sana, ada gadis yang masih menikmati es krim sampai mangkuk kedua, tenang saja pak tua gumam ku dalam hati mungkin akan ada mangkuk yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Aku tak peduli.Tatapanku hanya menatap kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Me-rewind semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya, kalo bukan dari dirinya.
***JJJJ***

3 tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambut nya yang agak sedikit berantakan, dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi.
            “Gimana?” tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat ekspresiku yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan.
            “Tunggu!” jawabku sambil memutar mata seolah berpikir serius mendeskripsikan Sesuatu yang sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku seperti tester sejati.
            “Enaak !!” Seruku.
            Dia tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang menipu. Aku lantas mengerenyit sambil mengusap pipiku yang dijewernya.
            Laki - laki berbadan kurus dan tinggi ini bisa di bilang tidak terlalu addicted dengan es krim tetapi entah mengapa ia sangat senang mengajakku mencicipi es krim. Ray termasuk golongan cowok yang cool dan tak banyak bicara, Terkadang Ray tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.
            Sore itu, Ray dengan sengaja menculikku dari tempat kerja baruku, ia mengajakku berkunjung ke kedai es krim  dengan interior yang terlihat seperti di museum–museum sejarah, disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda, semua tua.
            Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena antusias dengan apa yang ia lakukan atau ia ceritakan.

            Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Ray seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Mereka memang benar. Kalau kita sepasang kekasih romantis. Dia sangat mencintaiku. Dan aku sangat mencintai dia (kekasih orang).

***JJJJ***
2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama. Ray tersenyum simpul penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja abu-abu bermotif kotak-kotaknya kali ini rambutnya terikat rapi.
“Happy Birth Day Citra” Ray menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !!. Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart yang ia bawakan untukku.
            “Barusan make a wish apa?” Pertanyaan Ray membangunkan ku dari lamunan akibat pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku.
            “Menurut kamu?” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.
            “Masih dengan doa yang sama kah?” tanya Ray menggoda.
            “Masih dengan menyebut nama yang sama dalam doa yang sama” Citra tersenyum sangat manis.
            Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk dihadapanku seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool, dalam senyumnya terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak. Tetapi keberadaanku hanyalah sebuah kisah yang tersembunyi didalam kehidupan nyata Ray.
***JJJJ***
            Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air kebumi, menandakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua interiornya tetap tua di makan usia.
           Dua jam yang lalu, aku dan Ray duduk bersama di kedai ini.
            “Kenapa gak ada kabar Cit?” Ray menatapku serius. Nada suaranya dingin.
Aku tak sanggup memandang Ray, hanya tertunduk dan diam, lidah ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.
            “Aku sibuk Ray” Aku berbohong. Selama setahun aku menghilang dan tak pernah mengabari dia sedikitpun. Padahal ia selalu mencari kabar tentangku. aku hanya ingin menghentikan perasaan ini. Tapi ternyata sulit. “Maaf Ray, aku memang keterlaluan” ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.
            Setelah mendengar kata maaf itu Ray langsung mehenyakan punggungnya kesandaran kursi, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkas nya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka ketika kesempatan bekerja di luar kota itu datang aku tak menyiakan nya.
            “Tapi kau baik-baik saja kan?” Ucap nya tenang.
            Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku tak boleh menangis di depan nya, ini hanya akan membuatnya semakin cemas. Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu perasaan Ray sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun Ray selalu baik dan memaafkanku yang bertindak bodoh.
            “Lalu bagaimana denganmu Ray?” ucapku terbata.
            Ray tak menjawab, dia menatapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan membingungkan bagi Ray sehingga membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini. Namun Ray menyerah, dia menghenyakan kembali punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini pun mencair.
***JJJJ***
            Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Ray. Scene potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas, berwarna merah, pemberian Ray dua jam yang lalu.
            Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik benda itu, dan entahlah lah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat isinya.
            Butuh setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat pemahamanya, bahwa tak pernah ada yang berubah dari sikap Ray kepadaku, dia selalu ada untukku, melindungiku, menyayangiku. Aku tak mau ambil tindakan serta resiko untuk menyatakan nya dan malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Ray terluka.
            Hidup adalah pilihan. Seandainya aku tidak pernah pergi dan berjuang dengan cara bertahan mungkin nama di kertas tebal berwarna merah itu adalah aku. Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terima kasih, aku hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih campur aduk dan terasa sesak.
            Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Stasiun hendak meninggalkan kota ini, dan aku berjanji, aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tindakan bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu melupakan orang yang kita sayangi. Rasa ini tidak akan pernah berhenti, tetapi kisah ini harus terhenti. Rasa sakit ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es krim akan menjadi obatnya, bukan?.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mangga diantos komentarnya.