Debu - debu yang mengepul digilas roda-roda kendaraan
raksasa. Sudah empat kilometer jalan kutempuh. Itu artinya setengah
perjalanan lagi masih menanti. Aku sedikit mengurangi kecepatan saat mulai
memasuki jalanan yang dinaungi pohon-pohon besar. Angin dari sela-sela dedaunan
yang hampir menguning mempermainkan seragam putih abu-abuku. Ku kayuh sepeda
merahku dengan penuh kerja keras. Warna catnya yang sudah tidak kentara dan
suaranya yang berkeriut keriut selalu menemani pagiku mengantarkan ke rutinitas
kegiatan setiap senin hingga sabtu yang selalu sama. Pergi ke sekolah setelah
itu pulang dengan sepeda merah lusuhku. Senin pagi ini masih seperti biasanya.
Tidak ada sesuatu yang berbeda hari ini, masih sama seperti hari-hari
sebelumnya. Keningku yang licin mulai basah karena keringat mengucur deras.
Semangatku tetap sama seperti 3 tahun yang lalu. Hari ini adalah hari terakhir
aku mengikuti percobaan ujian negara.
“Hai Tres”, sapa ami saat Tres
sedang memarkirkan sepeda di parkiran sekolahnya.
Tres yang menyadari ada yang menyapa
menoleh sambil mengembangkan senyumnya dan menjawab sapaan Ami “Hai Ami, pagi
ini kamu begitu bersemangat,,”.
“Iya memang sengaja aku datang pagi,
aku mau belajar terlebih dahulu disini. Apa kamu juga Tres?”, tanya Ami
antusias.
“Aku pun sama sepertimu”, tanggap
Tres singkat. “Baiklah, sepertinya aku akan langsung ke kelas Ami, So,, keep
spirit for you. Good luck ya untuk try out hari ini. Daahhhh”, kata Ami pergi
terburu-buru sambil melambaikan tangan.
“Oh oke Tres, thanks ya dan good
luck juga”, ikut membalas lambaian tangan Tres.
Tres salah satu siswa yang memang
tergolong pendiam sehingga ia hanya berteman dengan orang-orang yang menurutnya
nyaman dengannya. Wajar saja kalau dia tidak begitu banyak teman dan selalu
sendiri kalau di sekolah. Tapi hal itu tidak dijadikan kendala untuk menuntut
ilmu di sekolahnya. Walau bagaimanapun ia tetap masih bisa berkomunikasi dengan
baik antar teman-teman lainnya.
Pertanyaan ini itu mengenai ujian
negara terlontar dimana – dimana. Topik pembicaraan tentang ujian negara tidak
hanya menjadi brand topic di kelas Tres saja. Di kelas lain pun ternyata sama.
Bahkan mungkin di seluruh Indonesia.
“Tres, aku yakin kamu pasti
mendapatkan nilai bagus di ujian akhir ini”, kata Vera yang baru saja datang
dan menghampiri meja Tres sambil menyeruput habis susu kemasannya.
“hehehe, kamu bisa saja Ver, kalau
nilaiku bagus itu pun berkat kerja keras aku selama ini Ver. Aku yakin kamu pun
akan mendapatkan hasil yang lebih bagus”.
“hahaha,, bisa saja kamu Tres. Tapi
memang akhir – akhir ini aku lebih giat belajar karena aku ingin sekali membuat
kedua orang tua bangga bersekolah di tempat sekolah yang semahal dan sebagus
ini”, sekolah mereka memang sekolah elite untuk anak-anak gedongan. Vera
sebenarnya siswi baru di sekolah ini. Ia mendapatkan beasiswa untuk bisa
melanjutkan sekolah disini. Awalnya ia hanya bersekolah di sebuah desa
terpencil yang berada di sebelah timur Indonesia. Namun berkat kepintarannya ia
mampu mengikuti pelajaran yang diterapkan disekolah ini. Alhasil ia diterima
dengan hasil yang memuaskan dan beasiswa pun didapatnya dari satu tahun yang
lalu.
“Aku yakin pasti kamu bisa
mendapatkan yang terbaik Ver”, kataku memotivasi dan memberi dorongan kepada
Vera agar ia merasa lebih tergugah semangatnya.
Tiba – tiba saja celetukan kurang
mengenakkan terlontar dari mulut Windi. “Keliatan dari mukanya kayanya udah ada
yang yakin banget nih ujiannya bakal nilai bagus, tapi kok ada bau – bau curang
ya disini”, melirik ke arah Tres dengan lirikan sinis dan senyuman kecut. Windi
memang bukan teman sekelas Tres dan Vera. Namun mereka satu angkatan hanya beda
kelas. Salah satu teman Windi yaitu Laras adalah teman sekelas Tres dan Vera.
Tres hanya menjawabnya dengan diam
dan senyuman santai dan kembali berkutat dengan bukunya.
“Maksudnya apa Win?”, tanya Vera
penasaran. “kamu menuduh kita melakukan kecurangan?”
“Bukan lo Ver, tapi tuh si Tres. Gue
kasian aja sama lo. Takutnya nanti otak lo terkontaminasi lagi sama
kecurangannya”.
“Curang?”, wajah bingung Vera mulai
muncul.
Tres masih konstan dengan diamnya
dan senyuman santainya.
“Maksudnya apa sih Tres?”, tanya
Vera.
“gini Ver...................”, Lagi
– lagi setiap Tres mau bicara selalu disela oleh Windi.
“Ya gitu deh Ver, dia tuh sebenarnya
udah dapat bocoran kunci jawaban makanya kenapa dia yakin banget nilainya bakal
bagus. Emangnya lo ga curiga ya Ver sama dia?. Kalau gue sih ya udah curiga
dari kemarin – kemarin pas dia dipanggil sama Kepala sekolah berkali – kali.
Apalagi Pak Suwito ayahnya penyandang dana terbesar di sekolah ini. Pastilah
ada sesuatu dibaliknya.”, jelas Windi panjang lebar.
“Apaaa?”, Vera kaget sejadi-
jadinya. Mana mungkin Tres yang ia kenal seperti itu. Memang minggu-minggu ini
ia sering dipanggil dan menemui Kepala Sekolah. Namun menurut pengakuannya ia
menghadap kepala sekolah hanya membicarakan mengenai beasiswa prestasi yang
akan didapatkannya apabila nilai di semester ini naik. Yang Vera baru ketahui
bahwa ternyata ayahnya Tres salah satu penyandang dana terbesar di sekolahnya.
Seorang Tres yang begitu sederhana ternyata anak dari penyandang dana terbesar.
“Balik lagi ke kamu sih Ver mau
percaya atau ga? Tapi buktinya Tres Speechless tuh”, melirik ke arah
Tres.
Tres diam menyimpan geram. Saat Tres
akan menklarifikasi, Vera pergi begitu saja meninggalkannya.
***
*** ***
“Mau apalagi kamu kesini?”, tanya
Vera ketus.
“Aku Cuma mau klarifikasi pernyataan
yang tadi Windi omongin Ver. Sebagian yang Windi omongin salah”.
“Sebagian ? jadi kamu bener optimis
karena kamu udah diberi bocoran sama Bu Nina?, ahh sudahlah sekarang topeng
kamu udah terbuka Tres. Ternyata kesederhanaan kamu itu Cuma menutupi
kecurangan kamu”, kata – kata pedas keluar dari mulut Vera. Vera bergegas
meninggalkan Tres.
Tres dengan sigap mencegah Vera
pergi. Ia harus segera membersihkan namanya saat itu juga. “Aku memang anak
Suwito seorang penyandang dana terbesar di sekolah ini. Tapi aku gak pernah
dapat bocoran kunci jawaban yang seperti Windi omongin Ver. Dan satu lagi yang
harus kamu tahu, kesederhanaan aku karena aku hanya ingin menjadi diri sendiri.
Bukan karena apapun. Kalau memang kamu gak percaya sama aku. Aku punya bukti –
bukti ini”, jelas Tres sambil menyodorkan Map berisi surat – surat beasiswanya.
Vera terdiam sejenak.”Kenapa selama
ini kamu gak pernah cerita kalau ayah kamu adalah penyandang dana di sekolah
ini? Dan kenapa kamu mau berteman dengan aku yang seorang anak miskin? Lalu
kenapa Windi begitu benci sama kamu Tres sampai – sampai dia mau menjatuhkanmu
seperti itu?”.
“Pa Suwito hanyalah seorang ayah
untukku Ver. Tidak lebih. Jadi yang aku banggakan hanyalah dia seorang ayah.
Bukan yang lain. Miskin atau kaya itu relatif bukan, dan kenyamanan untuk
berteman pun gak harus melihat dari kalangan kaya atau miskin kan. Kalau untuk
Windi sampai saat ini pun aku belum tahu kenapa ia bisa begitu membenciku Ver.
Yang pasti aku masih membuka pelukan lebar untuk Windi. Pelukan persahabatan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mangga diantos komentarnya.