Short Story

Selasa, 29 Januari 2013

Tres !!! (Adriyani Yonita) Published Majalaah Pesona Muda




Debu - debu yang mengepul digilas roda-roda kendaraan raksasa.  Sudah empat kilometer jalan kutempuh. Itu artinya setengah perjalanan lagi masih menanti. Aku sedikit mengurangi kecepatan saat mulai memasuki jalanan yang dinaungi pohon-pohon besar. Angin dari sela-sela dedaunan yang hampir menguning mempermainkan seragam putih abu-abuku. Ku kayuh sepeda merahku dengan penuh kerja keras. Warna catnya yang sudah tidak kentara dan suaranya yang berkeriut keriut selalu menemani pagiku mengantarkan ke rutinitas kegiatan setiap senin hingga sabtu yang selalu sama. Pergi ke sekolah setelah itu pulang dengan sepeda merah lusuhku. Senin pagi ini masih seperti biasanya. Tidak ada sesuatu yang berbeda hari ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Keningku yang licin mulai basah karena keringat mengucur deras. Semangatku tetap sama seperti 3 tahun yang lalu. Hari ini adalah hari terakhir aku mengikuti percobaan ujian negara.
            “Hai Tres”, sapa ami saat Tres sedang memarkirkan sepeda di parkiran sekolahnya.
            Tres yang menyadari ada yang menyapa menoleh sambil mengembangkan senyumnya dan menjawab sapaan Ami “Hai Ami, pagi ini kamu begitu bersemangat,,”.
            “Iya memang sengaja aku datang pagi, aku mau belajar terlebih dahulu disini. Apa kamu juga Tres?”, tanya Ami antusias.
            “Aku pun sama sepertimu”, tanggap Tres singkat. “Baiklah, sepertinya aku akan langsung ke kelas Ami, So,, keep spirit for you. Good luck ya untuk try out hari ini. Daahhhh”, kata Ami pergi terburu-buru sambil melambaikan tangan.
            “Oh oke Tres, thanks ya dan good luck juga”, ikut membalas lambaian tangan Tres.
            Tres salah satu siswa yang memang tergolong pendiam sehingga ia hanya berteman dengan orang-orang yang menurutnya nyaman dengannya. Wajar saja kalau dia tidak begitu banyak teman dan selalu sendiri kalau di sekolah. Tapi hal itu tidak dijadikan kendala untuk menuntut ilmu di sekolahnya. Walau bagaimanapun ia tetap masih bisa berkomunikasi dengan baik antar teman-teman lainnya.
            Pertanyaan ini itu mengenai ujian negara terlontar dimana – dimana. Topik pembicaraan tentang ujian negara tidak hanya menjadi brand topic di kelas Tres saja. Di kelas lain pun ternyata sama. Bahkan mungkin di seluruh Indonesia.
            “Tres, aku yakin kamu pasti mendapatkan nilai bagus di ujian akhir ini”, kata Vera yang baru saja datang dan menghampiri meja Tres sambil menyeruput habis susu kemasannya.
            “hehehe, kamu bisa saja Ver, kalau nilaiku bagus itu pun berkat kerja keras aku selama ini Ver. Aku yakin kamu pun akan mendapatkan hasil yang lebih bagus”.
            “hahaha,, bisa saja kamu Tres. Tapi memang akhir – akhir ini aku lebih giat belajar karena aku ingin sekali membuat kedua orang tua bangga bersekolah di tempat sekolah yang semahal dan sebagus ini”, sekolah mereka memang sekolah elite untuk anak-anak gedongan. Vera sebenarnya siswi baru di sekolah ini. Ia mendapatkan beasiswa untuk bisa melanjutkan sekolah disini. Awalnya ia hanya bersekolah di sebuah desa terpencil yang berada di sebelah timur Indonesia. Namun berkat kepintarannya ia mampu mengikuti pelajaran yang diterapkan disekolah ini. Alhasil ia diterima dengan hasil yang memuaskan dan beasiswa pun didapatnya dari satu tahun yang lalu.
            “Aku yakin pasti kamu bisa mendapatkan yang terbaik Ver”, kataku memotivasi dan memberi dorongan kepada Vera agar ia merasa lebih tergugah semangatnya.
            Tiba – tiba saja celetukan kurang mengenakkan terlontar dari mulut Windi. “Keliatan dari mukanya kayanya udah ada yang yakin banget nih ujiannya bakal nilai bagus, tapi kok ada bau – bau curang ya disini”, melirik ke arah Tres dengan lirikan sinis dan senyuman kecut. Windi memang bukan teman sekelas Tres dan Vera. Namun mereka satu angkatan hanya beda kelas. Salah satu teman Windi yaitu Laras adalah teman sekelas Tres dan Vera.
            Tres hanya menjawabnya dengan diam dan senyuman santai dan kembali berkutat dengan bukunya.
            “Maksudnya apa Win?”, tanya Vera penasaran. “kamu menuduh kita melakukan kecurangan?”
            “Bukan lo Ver, tapi tuh si Tres. Gue kasian aja sama lo. Takutnya nanti otak lo terkontaminasi lagi sama kecurangannya”.
            “Curang?”, wajah bingung Vera mulai muncul.
            Tres masih konstan dengan diamnya dan senyuman santainya.
            “Maksudnya apa sih Tres?”, tanya Vera.
            “gini Ver...................”, Lagi – lagi setiap Tres mau bicara selalu disela oleh Windi.
            “Ya gitu deh Ver, dia tuh sebenarnya udah dapat bocoran kunci jawaban makanya kenapa dia yakin banget nilainya bakal bagus. Emangnya lo ga curiga ya Ver sama dia?. Kalau gue sih ya udah curiga dari kemarin – kemarin pas dia dipanggil sama Kepala sekolah berkali – kali. Apalagi Pak Suwito ayahnya penyandang dana terbesar di sekolah ini. Pastilah ada sesuatu dibaliknya.”, jelas Windi panjang lebar.
            “Apaaa?”, Vera kaget sejadi- jadinya. Mana mungkin Tres yang ia kenal seperti itu. Memang minggu-minggu ini ia sering dipanggil dan menemui Kepala Sekolah. Namun menurut pengakuannya ia menghadap kepala sekolah hanya membicarakan mengenai beasiswa prestasi yang akan didapatkannya apabila nilai di semester ini naik. Yang Vera baru ketahui bahwa ternyata ayahnya Tres salah satu penyandang dana terbesar di sekolahnya. Seorang Tres yang begitu sederhana ternyata anak dari penyandang dana terbesar.
            “Balik lagi ke kamu sih Ver mau percaya atau ga? Tapi buktinya Tres Speechless tuh”, melirik ke arah Tres.
            Tres diam menyimpan geram. Saat Tres akan menklarifikasi, Vera pergi begitu saja meninggalkannya.
*** *** ***
            “Mau apalagi kamu kesini?”, tanya Vera ketus.
            “Aku Cuma mau klarifikasi pernyataan yang tadi Windi omongin Ver. Sebagian yang Windi omongin salah”.
            “Sebagian ? jadi kamu bener optimis karena kamu udah diberi bocoran sama Bu Nina?, ahh sudahlah sekarang topeng kamu udah terbuka Tres. Ternyata kesederhanaan kamu itu Cuma menutupi kecurangan kamu”, kata – kata pedas keluar dari mulut Vera. Vera bergegas meninggalkan Tres.
            Tres dengan sigap mencegah Vera pergi. Ia harus segera membersihkan namanya saat itu juga. “Aku memang anak Suwito seorang penyandang dana terbesar di sekolah ini. Tapi aku gak pernah dapat bocoran kunci jawaban yang seperti Windi omongin Ver. Dan satu lagi yang harus kamu tahu, kesederhanaan aku karena aku hanya ingin menjadi diri sendiri. Bukan karena apapun. Kalau memang kamu gak percaya sama aku. Aku punya bukti – bukti ini”, jelas Tres sambil menyodorkan Map berisi surat – surat beasiswanya.
            Vera terdiam sejenak.”Kenapa selama ini kamu gak pernah cerita kalau ayah kamu adalah penyandang dana di sekolah ini? Dan kenapa kamu mau berteman dengan aku yang seorang anak miskin? Lalu kenapa Windi begitu benci sama kamu Tres sampai – sampai dia mau menjatuhkanmu seperti itu?”.
            “Pa Suwito hanyalah seorang ayah untukku Ver. Tidak lebih. Jadi yang aku banggakan hanyalah dia seorang ayah. Bukan yang lain. Miskin atau kaya itu relatif bukan, dan kenyamanan untuk berteman pun gak harus melihat dari kalangan kaya atau miskin kan. Kalau untuk Windi sampai saat ini pun aku belum tahu kenapa ia bisa begitu membenciku Ver. Yang pasti aku masih membuka pelukan lebar untuk Windi. Pelukan persahabatan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mangga diantos komentarnya.