Aku adalah angin.
Hidupku untuk berkelana, menyusuri dunia memasuki relung-relung
kehidupan bumi. Aku
menyampaikan jutaan pesan Tuhan pada makhluk-Nya dengan sapuan kecilku. Aku menjadi bagian makhluk hidup yang tak
terpisahkan, walau Tuhan tak memberiku nyawa. Aku mendengar setiap berita
manusia, merasakan kata hati mereka saat merasuki nadi-nadinya. Ikut
menyampaikan perasaan mereka dengan
dinginnya aku.
“Zara ibu mohon satu suap saja kau makan, ibu tak mau kau
sakit Zara “, bujuk sang ibu kepada gadis belia yang ada dihadapannya.
“Aku hanya ingin bersama angin”, jawab gadis itu lirih.
“Zara ibu mohon Zara, jangan seperti ini, ibu tak kuasa
melihatmu seperti ini”, buliran air mata ibu satu persatu jatuh karena tak
kuasa melihat Zara.
“Aku hanya ingin bersama angin”, lagi-lagi kata-kata itu
yang keluar dari bibir mungilnya.
Zara bersikap seperti ini sudah mulai dari 3 bulan yang
lalu. Semua pengobatan sudah dilakukan tapi tetap saja tidak ada progress yang
membuatnya kembali ke alam sadarnya. Dokter mendiagnosa bahwa Zara mengalami
depresi berat. Ia mengalami depresi berat setelah kejadian kecelakaan itu.
Kecelakaan yang membuat kakinya harus diamputasi. Hal itu membuat orang yang ia
cintai yaitu kekasihnya pergi meninggalkannya. Padahal tidak semua orang pergi
meninggalkan Zara. Masih banyak yang peduli dengan Zara. Namun Zara menganggap
mereka tak pernah ada. Sehingga yang Zara kenal saat ini hanyalah Angin.
*** *** ***
“Nak Revan, ibu bingung dengan keadaan Zara. Kalau memang
Zara seperti ini terus. Ibu lebih baik menitipkannya di rumah sakit jiwa.
Mungkin disana dia lebih baik. Sudah dua hari ini dia tidak mau makan. Ibu
takut terjadi sesuatu pada Zara. Sebenarnya ibu ingin sekali Zara tetap ada di
rumah ini. Tapi kalau memang keadaannya sudah jauh dari harapan ibu. Ibu
pasrah.”, ujar wanita setengah baya itu.
“Kita hanya butuh waktu saja kok Bu, yang saya lihat Zara
menunjukkan peningkatan yang pasti tapi pelan, seperti yang sudah saya katakan
Zara hanya mengalami depresi. Dia membuat dunia baru yang memang membuat dia
nyaman didalamnya. Ada 2 pilihan, dia keluar dari dunia barunya itu, atau kita
yang masuk ke dalam dunia barunya dan itu pun kita harus pelan-pelan dalam mengobati
Zara”.
“Tapi kalau seperti ini terus keadaannya ibu bisa apa Nak
Revan”.
“Percayakan semuanya pada tuhan Bu. Mungkin kita hanya
menunggu saatnya tiba saja. Kalau nanti
waktunya Zara sembuh pun pasti dia akan kembali ke Zara yang dulu. Saya akan
terus berusaha dan mencoba agar Zara bisa sembuh”,sahut Revan mencoba untuk
menenangkan Ibu Zara. Revan adalah dokter yang selama ini mengobati Zara.
*** *** ***
Pria berwajah oval dengan tubuh yang menjulang tinggi
berjalan menuju arah kamar Zara sambil membawa sebungkus gulali untuk diberikan
kepada Zara. Dengan berhati-hati Revan membuka pintu dan Melihat keadaan di
sekitar kamar Zara. Terlihat Zara sedang tertidur di atas karpet sambil
memegang pensil dan kepalanya tertidur di atas secarik kertas yang berisi
tulisan. Revan yang penasaran dengan isi tulisannya. Dengan pelan ia menarik
secarik kertas tersebut dan membaca isi tulisannya. Ternyata isi tulisannya
yaitu percakapan antara Zara dengan angin. Yang sebenarnya ia buat sendiri. Ia
berkomunikasi dengan dirinya sendiri lewat secarik kertas ini.
”Hai angin, karena sunyinya aku
ingin menyapamu”
”Kalau kau merasa sunyi apa yang kau lakukan dalam
alam bawah sadarmu ini?”
”Aku tak punya semangat hidup lagi. Kekasihku pergi karena dia melihatku cacat. Mungkinkah dia bertemu gadis lain yang lebih sempurna? Tak ada lagi yang bisa kulakukan tanpa dirinya,
aku memilih membiarkan diriku masuk ke dunia ini dan
aku menemukanmu. Aku mau kau yang menggantikan kekasihku angin. Karena kau yang
selama ini menemaniku”
“Kita berbeda Zara, Ini duniaku, bukan duniamu”.
“Tapi apa salah kalau aku mencintaimu angin. Jangan usir
aku dari sini angin. Hanya kamu yang bisa mengerti aku saat ini”.
Selanjutnya hanya coretan nama Zara dan Angin.
Sketsa-sketsa yang tidak bisa terbaca yang hanya dimengerti oleh Zara sendiri.
Sepertinya Zara menyadari keberadaan Revan yang sedari tadi duduk di samping
Zara. Zara membuka mata dan langsung terbangung kemudian merapat ke sudut
tembok kamarnya sambil memeluk tubuhnya sendiri. Gadis itu lama terdiam, tatapannya kosong
menerawang.
Revan sudah mengerti keadaan gadis berumur 19
tahun itu. Revan mulai mendekatinya dengan langkah lembut. Ia menyapa Zara
dengan sapaan hangat. Tidak seperti sapaan dokter dengan pasiennya, lebih
tepatnya lagi sapaan antara sepasang kekasih.
“Zara, aku ingin mengajakmu keluar rumah. Maukah
kau ikut bersamaku?. Untuk menikmati malam di penghujung tahun ini.”, tanya
Revan menghampiri Zara yang masih terhuyung di sudut kamar.
Zara tidak merespon apapun. Masih konstan dengan
diamnya.
“Aku hanya ingin menemanimu saja”.
Akhirnya Zara merespon dengan anggukan kepalanya
menandakan ia setuju. Setidaknya Zara sudah mulai membuka diri kepada Revan.
**** *** ****
“Mengapa ya manusia sering terlalu dalam meratapi cinta semu
mereka. Mencintai yang tak bisa mereka miliki, sedangkan yang dimiliki
terkadang tak dicintai”, Revan
memulai pembicaraan dengan topik permasalahan yang sedang dihadapi Zara.
“Kau tidak akan pernah mengerti tentang cinta”, sanggah Zara.
”Aku
mengerti, malah kau yang tidak mengerti”.
”Kau
tidak pernah tau aku menderita tanpa kekasihku”, Zara menatapku lekat. Ini
pertama kalinya Zara berkomunikasi dengan menatap mata lawan bicaranya.
”Dan tidakkah kau tahu derita orang yang
mencintaimu jika kau seperti ini?”
”Aku takkan pernah bahagia bila kekasihku tak
disisiku”
”Kau membunuh kebahagiaan orang yang
mencintaimu untuk hal itu. Bersedihlah, jika hatimu sedih tapi jangan kau
terlarut karenanya”
”Aku tak bisa”
”Walaupun untuk Ibumu?”
”Ibu?”
”Ya Ibumu yang begitu mencintaimu”
”Aku juga
mencintai ibu. Tapi aku tak
bisa berbuat apa-apa jiwaku begitu sakit”.
”Kau hanya tak berusaha”
”Kau tak pernah mengerti. Kekasihku meninggalkan aku sendiri, tanpa sisa cinta darinya. Hidupku
sunyi, dia telah membawa sebagian besar jiwaku. Tak ada artinya lagi hidupku”
”Kau salah, hidupmu masihlah berarti”
”Berarti untuk apa? Aku lebih memilih pergi dari
duniaku”.
”Hidupmu sangat berarti untuk Ibumu”
”Aku mencintai
ibu. Tapi aku hanya inginkan
kekasihku”.
”Kau tak memikirkan Ibumu! Tak pernah benar-benar
mencintainya. Inilah yang kumaksud manusia terkadang tak mencintai orang yang
mencintainya. Bayangkan luka hatinya bila kau pergi seperti ini! Akan jauh
melebihi luka hati yang kau rasakan. Kau masih punya Tuhan, kau tidak
kembali pada-Nya. Kau tidak bersujud meminta pada-Nya. Cinta-Nya lebih indah
dan lebih membuatmu bahagia. Tuhanmu tak akan pernah membuat hatimu terluka!
Kau masih punya hidupmu, untuk Ibumu. Semuanya yang kamu anggap hilang sebenarnya masih ada. Kau yang tak mau
berusaha untuk berdiri. Lihatlah
sekarang apa yang kau berikan untuk
orang-orang yang mencintaimu!
Hanya kesedihan, bangkitlah buat mereka tersenyum. Dan ingatlah tujuan utama manusia
hidup di dunia” teriakku. ”Belajarlah untuk lebih mencintai Ibumu”
”Lalu, Haruskah aku menghapus kekasihku?”
”Tidak. Kau bisa meminta pada Tuhanmu untuk
menitipkan setitik cinta-Nya melewati kekasihmu, dan kembalilah pada jalan-Nya.
Walaupun kekasihmu tak kembali, percayalah Tuhan akan memberikan penggantinya
yang lebih baik untukmu dan Ibumu”
“Aku sudah menemukan Angin
sebagai penggantinya. Tapi dia menolakku. Dia bilang aku dan dia berbeda”.
“Carilah angin yang ada di
duniamu Zara. Kembalilah ke duniamu. Aku siap menjadi angin untukmu”.
“Apa?”, Zara kaget mendengar kata-kata Revan.
Revan pun kaget melihat respon dari Zara. Ini menandakan Zara mulai kembali ke
alam sadarnya.
“Itu pun kalau kau bisa menerimaku. Aku akan tetap
menemanimu Zara dalam keadaan apapun. Begitu juga ibumu. Jangan merasa sendiri
lagi. Di penghujung tahun ini mulailah lagi dengan lembaran putih. Masa lalu
boleh dikenang asal jangan terlarut dalam kesedihan. Sekarang tersenyumlah.
Buat orang-orang yang mencintaimu tersenyum”, kata-kata Revan membuat Zara
terhanyut di dalamnya. Anginpun ikut hadir disini. Suasana malam tahun baru
begitu nyata saat Zara mengembangkan senyum pertamanya untuk Revan.