Short Story

Minggu, 16 Desember 2012

Cinta di segelas kopi pahit


Mencintaimu seperti meyeruput habis kopi ini
aku merasakan ketenangan didalamnya
pahitnya selalu membuat aku berulang kali ingin mencecapmu,, walau aku tahu itu pahit
cafeinnya menghipnotisku
merusak otakku
tapi aku tetap mencecap dan mencecap
lagi, lagi dan lagi

 

Jumat, 07 Desember 2012

Zara dan Angin (Adriyani Yonita)




Aku adalah angin.
Hidupku untuk berkelana, menyusuri dunia memasuki relung-relung kehidupan bumi. Aku menyampaikan jutaan pesan Tuhan pada makhluk-Nya dengan sapuan kecilku. Aku menjadi bagian makhluk hidup yang tak terpisahkan, walau Tuhan tak memberiku nyawa. Aku mendengar setiap berita manusia, merasakan kata hati mereka saat merasuki nadi-nadinya. Ikut menyampaikan perasaan mereka dengan dinginnya aku.


“Zara ibu mohon satu suap saja kau makan, ibu tak mau kau sakit Zara “, bujuk sang ibu kepada gadis belia yang ada dihadapannya.
“Aku hanya ingin bersama angin”, jawab gadis itu lirih.
“Zara ibu mohon Zara, jangan seperti ini, ibu tak kuasa melihatmu seperti ini”, buliran air mata ibu satu persatu jatuh karena tak kuasa melihat Zara.
“Aku hanya ingin bersama angin”, lagi-lagi kata-kata itu yang keluar dari bibir mungilnya.
            Zara bersikap seperti ini sudah mulai dari 3 bulan yang lalu. Semua pengobatan sudah dilakukan tapi tetap saja tidak ada progress yang membuatnya kembali ke alam sadarnya. Dokter mendiagnosa bahwa Zara mengalami depresi berat. Ia mengalami depresi berat setelah kejadian kecelakaan itu. Kecelakaan yang membuat kakinya harus diamputasi. Hal itu membuat orang yang ia cintai yaitu kekasihnya pergi meninggalkannya. Padahal tidak semua orang pergi meninggalkan Zara. Masih banyak yang peduli dengan Zara. Namun Zara menganggap mereka tak pernah ada. Sehingga yang Zara kenal saat ini hanyalah Angin.

*** *** ***
“Nak Revan, ibu bingung dengan keadaan Zara. Kalau memang Zara seperti ini terus. Ibu lebih baik menitipkannya di rumah sakit jiwa. Mungkin disana dia lebih baik. Sudah dua hari ini dia tidak mau makan. Ibu takut terjadi sesuatu pada Zara. Sebenarnya ibu ingin sekali Zara tetap ada di rumah ini. Tapi kalau memang keadaannya sudah jauh dari harapan ibu. Ibu pasrah.”, ujar wanita setengah baya itu.
“Kita hanya butuh waktu saja kok Bu, yang saya lihat Zara menunjukkan peningkatan yang pasti tapi pelan, seperti yang sudah saya katakan Zara hanya mengalami depresi. Dia membuat dunia baru yang memang membuat dia nyaman didalamnya. Ada 2 pilihan, dia keluar dari dunia barunya itu, atau kita yang masuk ke dalam dunia barunya dan itu pun kita harus pelan-pelan dalam mengobati Zara”.
            “Tapi kalau seperti ini terus keadaannya ibu bisa apa Nak Revan”.
            “Percayakan semuanya pada tuhan Bu. Mungkin kita hanya menunggu saatnya  tiba saja. Kalau nanti waktunya Zara sembuh pun pasti dia akan kembali ke Zara yang dulu. Saya akan terus berusaha dan mencoba agar Zara bisa sembuh”,sahut Revan mencoba untuk menenangkan Ibu Zara. Revan adalah dokter yang selama ini mengobati Zara.

*** *** ***
            Pria berwajah oval dengan tubuh yang menjulang tinggi berjalan menuju arah kamar Zara sambil membawa sebungkus gulali untuk diberikan kepada Zara. Dengan berhati-hati Revan membuka pintu dan Melihat keadaan di sekitar kamar Zara. Terlihat Zara sedang tertidur di atas karpet sambil memegang pensil dan kepalanya tertidur di atas secarik kertas yang berisi tulisan. Revan yang penasaran dengan isi tulisannya. Dengan pelan ia menarik secarik kertas tersebut dan membaca isi tulisannya. Ternyata isi tulisannya yaitu percakapan antara Zara dengan angin. Yang sebenarnya ia buat sendiri. Ia berkomunikasi dengan dirinya sendiri lewat secarik kertas ini.

”Hai angin, karena sunyinya aku ingin menyapamu”
”Kalau kau merasa sunyi apa yang kau lakukan dalam alam bawah sadarmu ini?”
”Aku tak punya semangat hidup lagi. Kekasihku pergi karena dia melihatku cacat. Mungkinkah dia bertemu gadis lain yang lebih sempurna? Tak ada lagi yang bisa kulakukan tanpa dirinya, aku memilih membiarkan diriku masuk ke dunia ini dan aku menemukanmu. Aku mau kau yang menggantikan kekasihku angin. Karena kau yang selama ini menemaniku
“Kita berbeda Zara, Ini duniaku, bukan duniamu”.
“Tapi apa salah kalau aku mencintaimu angin. Jangan usir aku dari sini angin. Hanya kamu yang bisa mengerti  aku saat ini”.

Selanjutnya hanya coretan nama Zara dan Angin. Sketsa-sketsa yang tidak bisa terbaca yang hanya dimengerti oleh Zara sendiri. Sepertinya Zara menyadari keberadaan Revan yang sedari tadi duduk di samping Zara. Zara membuka mata dan langsung terbangung kemudian merapat ke sudut tembok kamarnya sambil memeluk tubuhnya sendiri. Gadis itu lama terdiam, tatapannya kosong menerawang.

Revan sudah mengerti keadaan gadis berumur 19 tahun itu. Revan mulai mendekatinya dengan langkah lembut. Ia menyapa Zara dengan sapaan hangat. Tidak seperti sapaan dokter dengan pasiennya, lebih tepatnya lagi sapaan antara sepasang kekasih.

“Zara, aku ingin mengajakmu keluar rumah. Maukah kau ikut bersamaku?. Untuk menikmati malam di penghujung tahun ini.”, tanya Revan menghampiri Zara yang masih terhuyung di sudut kamar.
Zara tidak merespon apapun. Masih konstan dengan diamnya.
“Aku hanya ingin menemanimu saja”.
Akhirnya Zara merespon dengan anggukan kepalanya menandakan ia setuju. Setidaknya Zara sudah mulai membuka diri kepada Revan.

**** *** ****
            “Mengapa ya   manusia sering terlalu dalam meratapi cinta semu mereka. Mencintai yang tak bisa mereka miliki, sedangkan yang dimiliki terkadang tak dicintai”, Revan memulai pembicaraan dengan topik permasalahan yang sedang dihadapi Zara.
Kau tidak akan pernah mengerti tentang cinta”, sanggah Zara.
Aku mengerti, malah kau yang tidak mengerti”.     
Kau tidak pernah tau aku menderita tanpa kekasihku”, Zara menatapku lekat. Ini pertama kalinya Zara berkomunikasi dengan menatap mata lawan bicaranya.
”Dan tidakkah kau tahu derita orang yang mencintaimu jika kau seperti ini?”
”Aku takkan pernah bahagia bila kekasihku tak disisiku”
”Kau membunuh kebahagiaan orang yang mencintaimu untuk hal itu. Bersedihlah, jika hatimu sedih tapi jangan kau terlarut karenanya”
”Aku tak bisa”
”Walaupun untuk Ibumu?”
”Ibu?”
”Ya Ibumu yang begitu mencintaimu”
            ”Aku juga mencintai ibu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa jiwaku begitu sakit”.
”Kau hanya tak berusaha”
”Kau tak pernah mengerti. Kekasihku meninggalkan aku sendiri, tanpa sisa cinta darinya. Hidupku sunyi, dia telah membawa sebagian besar jiwaku. Tak ada artinya lagi hidupku”
”Kau salah, hidupmu masihlah berarti”
”Berarti untuk apa? Aku lebih memilih pergi dari duniaku”.
”Hidupmu sangat berarti untuk Ibumu”
”Aku mencintai ibu. Tapi aku hanya inginkan kekasihku”.
”Kau tak memikirkan Ibumu! Tak pernah benar-benar mencintainya. Inilah yang kumaksud manusia terkadang tak mencintai orang yang mencintainya. Bayangkan luka hatinya bila kau pergi seperti ini! Akan jauh melebihi luka hati yang kau rasakan. Kau masih punya Tuhan, kau tidak kembali pada-Nya. Kau tidak bersujud meminta pada-Nya. Cinta-Nya lebih indah dan lebih membuatmu bahagia. Tuhanmu tak akan pernah membuat hatimu terluka! Kau masih punya hidupmu, untuk Ibumu. Semuanya yang kamu anggap hilang sebenarnya masih ada. Kau yang tak mau berusaha untuk berdiri. Lihatlah sekarang apa yang kau berikan untuk orang-orang yang mencintaimu! Hanya kesedihan, bangkitlah buat mereka tersenyum. Dan ingatlah tujuan utama manusia hidup di dunia” teriakku. ”Belajarlah untuk lebih mencintai Ibumu”
Lalu, Haruskah aku menghapus kekasihku?”
”Tidak. Kau bisa meminta pada Tuhanmu untuk menitipkan setitik cinta-Nya melewati kekasihmu, dan kembalilah pada jalan-Nya. Walaupun kekasihmu tak kembali, percayalah Tuhan akan memberikan penggantinya yang lebih baik untukmu dan Ibumu”
            “Aku sudah menemukan Angin sebagai penggantinya. Tapi dia menolakku. Dia bilang aku dan dia berbeda”.
            “Carilah angin yang ada di duniamu Zara. Kembalilah ke duniamu. Aku siap menjadi angin untukmu”.
“Apa?”, Zara kaget mendengar kata-kata Revan. Revan pun kaget melihat respon dari Zara. Ini menandakan Zara mulai kembali ke alam sadarnya.
“Itu pun kalau kau bisa menerimaku. Aku akan tetap menemanimu Zara dalam keadaan apapun. Begitu juga ibumu. Jangan merasa sendiri lagi. Di penghujung tahun ini mulailah lagi dengan lembaran putih. Masa lalu boleh dikenang asal jangan terlarut dalam kesedihan. Sekarang tersenyumlah. Buat orang-orang yang mencintaimu tersenyum”, kata-kata Revan membuat Zara terhanyut di dalamnya. Anginpun ikut hadir disini. Suasana malam tahun baru begitu nyata saat Zara mengembangkan senyum pertamanya untuk Revan.

Rabu, 31 Oktober 2012

Jarak dan Waktu

I love sunday, monday and tuesday,,,
I love 28, 29 and 30,,
I love Oktober,, and
I love you :)

Hari ini waktu telah mengalahkan jarak, Tak masalah walau sesaat.
Berharap seluruh hari seperti ini,, seperti hari ini, ,,
Waktu,, cepatlah hancurkan jarak sehancur hancurnya,,
Hancurkan gumpalan harap menjadi cacahan nyata,,
Aku selalu menunggu,,, 


Minggu, 30 September 2012

Rinduku rindumu

Saat ini,,, Jika kamu senja,, aku telah menjadi embun pagi,,
kita diam dalam keindahan,,, tidak pernah bisa bertemu dalam satu titik yang sama,,,
Aku rindu sore,, saat aku masih selalu mewarnaimu,,,
Jingga untukmu senja akan datang,, datang pada waktu yang nanti sudah ditentukan,,
entah kapan,, tapi aku akan datang,,,

Rabu, 22 Agustus 2012

Hai senja...aku akan tetap bersamamu,, bersama warnamu, bersama keindahan yang mengindahkanku,,,
hai jingga,, aku akan tetap mewarnaimu,, tidak akan ada yang bisa menggantikanku,, cukup dengan ku,,,
Kami lah sore,, sore yang indah :)


Sabtu, 07 April 2012

Sedikit menyipitkan mata untuk mereka yang sedang bersandiwara,,, !!!!

Sengatan dendam



*Adriani_*

Udara dingin pagi menyusup ke sela-sela ventilasi kamarku. Menembus pori-pori kulitku sehingga tulang ini terasa membeku seketika. Namun dingin pagi ini menyelipkan ingatan yang masih membeku di pikiranku. Ingatan tentang sengatan dendam yang membuatku rapuh akan kata maaf.  Ingatan yang membuat dingin hati ini kemudian merambat cepat ke seluruh tubuh bahkan hingga ke aliran darah. Hingga akhirnya aku mati rasa.         
            “Bu, Saya tidak mau kalau harus menjadi seperti ibu”, kataku cepat menyambar nasihatnya.
            “Saya juga tidak mau menjadi seperti ayah, yang harus merelakan kakinya untuk kaki orang lain, merelakan keringatnya untuk membiayai para konglomerat bau disana”,
            “Banggalah kepada ayahmu yang sudah menjadi seorang pahlawan devisa”.
            “Pahlawan,, pujian alibi macam apa itu, sebutan babu baru itu benar, toh jadi pahlawan keluarga pun beliau belum mampu bu”, kataku santai sambil menyisir rambut hitam panjangku.
            “jangan lah kau bicara seperti itu kepada ayahmu, Lara. Bagaimanapun dia tetap ayahmu”, nada ibu mulai meninggi menimpah intonasi nada Lara yang masih datar.
            Wajahku memang dipasang sedatar-datarnya. Tapi apakah ibu tahu di dalam hati ini hatiku terasa diamuk oleh rasa. Entah rasa apa ini, rasa yang berkecamuk dan sudah mengerang keras di setiap dindingnya. Aku tidak ingin seperti ayah dan ibu. Tidak ingin seperti ayah menjadi seorang yang selalu ada dibawah dan akhirnya meninggalkan keluarga. Tidak ingin seperti ibu yang pasrah begitu saja dengan kehidupan. Lalu aku, apa aku harus seperti mereka??. Percakapan aku dan ibu berakhir di ruang tamu yang sempit. Saat aku sudah melihat wajah ibu sendu lebih baik aku hentikan pembicaraan ini. Sepertinya aku meminta izin sekarang pun hanya memperkeruh suasana saja.
***  **** ***
            Matahari pagi yang membawa kehangatan di pagi ini menemaniku untuk mengawali akitifitas. Hari dimana aku mulai untuk membuka kotak mimpi dan membawanya ke gerbang realita. Ya, aku harus bulatkan tekad. Ini adalah waktu yang tepat untuk bisa merubah nasib. Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau berubah. Percaya atau tidak itu memang benar.
            “Mau kemana kamu Lara?”, tanya Bu Tarmi ibu kandung Lara.
            “Ya mau kerja dong bu, aku mau kemana lagi kalau bukan kerja”, jawabku dengan senyuman sambil meneguk segelas teh manis hangat.
            “Kamu mau daftar kuliah?, benarkan itu?”, tanya ibu dengan suara agak lantang.
            Aku yang masih sibuk meneguk teh hangat hanya membalas dengan gelengan kepala.
            “Jangan bohong, ibu melihat berkas-berkas pendaftaran kuliah kemarin di tas kamu. Buat apa kamu kuliah, kamu perempuan Lara, yang harusnya kuliah hanya laki-laki. Tugas kamu hanya bekerja dan nanti setelah kamu punya suami kamu hanya diam di dapur”.
            Jika yang dihadapanku bukan seorang wanita yang melahirkankanku. Sudah pasti habislah dia kutampar mulutnya. Kemarahanku benar-benar sudah di ubun-ubun.
            . “Kamu kuliah mau pakai apa Lara, gaji kamu saja tidak cukup untuk membiayai kehidupan, sudahlah tidak perlu kuliah, toh tanpa kuliah pun kita masih bisa makan”
            “Bu, saya juga punya mimpi. Sama seperti anak-anak yang lain yang menginginkan kuliah. Apa salah kalau seorang wanita kuliah. Kenapa harus berujung ke dapur. Apa memang sudah takdirnya wanita di dapur. Sekarang saya tanya, apakah ibu akan selalu menjadi dapur untuk ayah, enggak kan bu?, apa saya juga harus senasib dengan ibu. Ditinggalkan suami bekerja tetapi malah laki-laki itu pergi tanpa kabar berita. Dan ibu dsini hanya mengemis-ngemis pada anaknya?,” suaraku mulai parau, dadaku mulai sesak. Bulir airmata sengaja kutahan agar tidak terlihat lemah. Karena buat aku airmata hanyalah lambang kelemahan seorang wanita.
            Tangan halusnya mendarat cepat di pipiku. Pipi yang dahulu sering dimanja oleh ibu malah sekarang beliau tampar dengan hebatnya, “plakk”. Lututku begitu lemas, hati ini benar-benar bergetar. Sesak yang benar-benar sesak.
            “Pengemis?, kamu lupa, sekarang pun kamu masih mengemis sama saya. Kamu masih mengemis kasih sayang dari saya. Ibu kamu. Ingat 20 tahun yang lalu Lara. Saat kamu masih berada di kandungan saya. Kamu pun sama seperti saya sekarang. Hanya seorang pengemis. PENGEMIS”, kata-kata tajam dengan penekanan yang kuat.
            Kata-kata hebat kedua yang membuat sengatan dendam baru dalam hidupku. Ingin aku katakan bahwa aku memang pengemis. Tapi aku ini hanya  fakir yang merindukan kesuksesan. Hanya itu ibu. Aku hanya ingin kuliah. Aku akan buktikan nantikepada anak-anakku bahwa aku bukanlah pengemis. Dahulu sengatan dendam itu muncul saat semua orang bilang “Hei, Lara kamu kuliah bukan merubah hidup kamu menjadi seorang yang sukses, malah itu hanya mempersulit hidup kamu karena terbelit hutang sana sini untuk membiayai kuliah dan akhirnya kamu DO”. Kata-kata yang membuatku rapuh akan kata maaf bagi orang-orang yang mengeluarkan Desperate statement tersebut. Jangan harap sengatan-sengatan itu bisa merontokkan semua impianku, karena sengatan-sengatan itu menghasilkan sebuah motivasi baru dalam hidupku.