Kedai Es Krim
Yonita Adriyani
Ini sudah
mangkuk es krim kedua yang aku lahap malam itu, tak peduli aku sudah dua jam
duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang sesekali memalingkan
tatapannya dari Koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang
waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras diluar sana, ada gadis yang
masih menikmati es krim sampai mangkuk kedua, tenang saja pak tua gumam ku
dalam hati mungkin akan ada mangkuk yang ketiga, keempat, kelima dan
seterusnya. Aku tak peduli.Tatapanku hanya menatap kosong pada suatu titik
sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk
mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Me-rewind
semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya, kalo bukan dari
dirinya.
***JJJJ***
3 tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambut nya yang agak sedikit berantakan, dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi.
“Gimana?”
tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat ekspresiku yang
mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan.
“Tunggu!”
jawabku sambil memutar mata seolah berpikir serius mendeskripsikan Sesuatu yang
sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku seperti
tester sejati.
“Enaak
!!” Seruku.
Dia
tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang menipu.
Aku lantas mengerenyit sambil mengusap pipiku yang dijewernya.
Laki
- laki berbadan kurus dan tinggi ini bisa di bilang tidak terlalu addicted
dengan es krim tetapi entah mengapa ia sangat senang mengajakku mencicipi es
krim. Ray termasuk golongan cowok yang cool dan tak banyak bicara, Terkadang Ray
tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.
Sore
itu, Ray dengan sengaja menculikku dari tempat kerja baruku, ia mengajakku
berkunjung ke kedai es krim dengan interior
yang terlihat seperti di museum–museum sejarah, disisi sebelah kiri kedai
terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua, Demikian juga
alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda,
semua tua.
Aku
hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan
setia karena antusias dengan apa yang ia lakukan atau ia ceritakan.
Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Ray seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Mereka memang benar. Kalau kita sepasang kekasih romantis. Dia sangat mencintaiku. Dan aku sangat mencintai dia (kekasih orang).
Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Ray seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Mereka memang benar. Kalau kita sepasang kekasih romantis. Dia sangat mencintaiku. Dan aku sangat mencintai dia (kekasih orang).
***JJJJ***
2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama. Ray
tersenyum simpul penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja abu-abu
bermotif kotak-kotaknya kali ini rambutnya terikat rapi.
“Happy Birth Day Citra” Ray menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !!. Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart yang ia bawakan untukku.
“Happy Birth Day Citra” Ray menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !!. Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart yang ia bawakan untukku.
“Barusan
make a wish apa?” Pertanyaan Ray membangunkan ku dari lamunan akibat
pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku.
“Menurut
kamu?” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.
“Masih
dengan doa yang sama kah?” tanya Ray menggoda.
“Masih
dengan menyebut nama yang sama dalam doa yang sama” Citra tersenyum sangat
manis.
Malam
itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk dihadapanku seperti
sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool, dalam senyumnya terasa manis,
dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang membuatku menyadari sesuatu itu
ada, tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan
rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu
tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak. Tetapi
keberadaanku hanyalah sebuah kisah yang tersembunyi didalam kehidupan nyata
Ray.
***JJJJ***
Segerombolan
awan hitam, tak hentinya menumpahkan air kebumi, menandakan besarnya kerinduan
langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut
terhanyut olehnya, membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru
keluar dari pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua
interiornya tetap tua di makan usia.
Dua
jam yang lalu, aku dan Ray duduk bersama di kedai ini.
“Kenapa
gak ada kabar Cit?” Ray menatapku serius. Nada suaranya dingin.
Aku tak sanggup memandang Ray, hanya tertunduk dan
diam, lidah ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.
“Aku
sibuk Ray” Aku berbohong. Selama setahun aku menghilang dan tak pernah
mengabari dia sedikitpun. Padahal ia selalu mencari kabar tentangku. aku hanya
ingin menghentikan perasaan ini. Tapi ternyata sulit. “Maaf Ray, aku memang
keterlaluan” ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.
Setelah
mendengar kata maaf itu Ray langsung mehenyakan punggungnya kesandaran kursi,
mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk, dan akan terus tumbuh,
walau aku susah payah memangkas nya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali
dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan.
Maka ketika kesempatan bekerja di luar kota itu datang aku tak menyiakan nya.
“Tapi
kau baik-baik saja kan?” Ucap nya tenang.
Aku
mendongak, menatapnya lekat-lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku tak boleh
menangis di depan nya, ini hanya akan membuatnya semakin cemas. Mulutku kembali
terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu
perasaan Ray sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun Ray selalu baik
dan memaafkanku yang bertindak bodoh.
“Lalu
bagaimana denganmu Ray?” ucapku terbata.
Ray
tak menjawab, dia menatapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan
membingungkan bagi Ray sehingga membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya
ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini. Namun Ray
menyerah, dia menghenyakan kembali punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi
sedikit suasana diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini pun
mencair.
***JJJJ***
Layaknya
langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada
kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Ray. Scene potongan kejadian
di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan fokus pandanganku
tertuju ke suatu benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas,
berwarna merah, pemberian Ray dua jam yang lalu.
Entahlah
sudah berapuluh kali aku membolak balik benda itu, dan entahlah lah sudah
berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat isinya.
Butuh
setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk mendapatkan
jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat pemahamanya, bahwa
tak pernah ada yang berubah dari sikap Ray kepadaku, dia selalu ada untukku, melindungiku,
menyayangiku. Aku tak mau ambil tindakan serta resiko untuk menyatakan nya dan
malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Ray terluka.
Hidup
adalah pilihan. Seandainya aku tidak pernah pergi dan berjuang dengan cara
bertahan mungkin nama di kertas tebal berwarna merah itu adalah aku. Hujan
sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduanya pada
bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi,
pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terima kasih, aku hanya
membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih campur aduk dan terasa sesak.
Aku
melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Stasiun hendak meninggalkan kota
ini, dan aku berjanji, aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tindakan
bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu melupakan
orang yang kita sayangi. Rasa ini tidak akan pernah berhenti, tetapi kisah ini
harus terhenti. Rasa sakit ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es
krim akan menjadi obatnya, bukan?.