Short Story

Sabtu, 07 April 2012

Sedikit menyipitkan mata untuk mereka yang sedang bersandiwara,,, !!!!

Sengatan dendam



*Adriani_*

Udara dingin pagi menyusup ke sela-sela ventilasi kamarku. Menembus pori-pori kulitku sehingga tulang ini terasa membeku seketika. Namun dingin pagi ini menyelipkan ingatan yang masih membeku di pikiranku. Ingatan tentang sengatan dendam yang membuatku rapuh akan kata maaf.  Ingatan yang membuat dingin hati ini kemudian merambat cepat ke seluruh tubuh bahkan hingga ke aliran darah. Hingga akhirnya aku mati rasa.         
            “Bu, Saya tidak mau kalau harus menjadi seperti ibu”, kataku cepat menyambar nasihatnya.
            “Saya juga tidak mau menjadi seperti ayah, yang harus merelakan kakinya untuk kaki orang lain, merelakan keringatnya untuk membiayai para konglomerat bau disana”,
            “Banggalah kepada ayahmu yang sudah menjadi seorang pahlawan devisa”.
            “Pahlawan,, pujian alibi macam apa itu, sebutan babu baru itu benar, toh jadi pahlawan keluarga pun beliau belum mampu bu”, kataku santai sambil menyisir rambut hitam panjangku.
            “jangan lah kau bicara seperti itu kepada ayahmu, Lara. Bagaimanapun dia tetap ayahmu”, nada ibu mulai meninggi menimpah intonasi nada Lara yang masih datar.
            Wajahku memang dipasang sedatar-datarnya. Tapi apakah ibu tahu di dalam hati ini hatiku terasa diamuk oleh rasa. Entah rasa apa ini, rasa yang berkecamuk dan sudah mengerang keras di setiap dindingnya. Aku tidak ingin seperti ayah dan ibu. Tidak ingin seperti ayah menjadi seorang yang selalu ada dibawah dan akhirnya meninggalkan keluarga. Tidak ingin seperti ibu yang pasrah begitu saja dengan kehidupan. Lalu aku, apa aku harus seperti mereka??. Percakapan aku dan ibu berakhir di ruang tamu yang sempit. Saat aku sudah melihat wajah ibu sendu lebih baik aku hentikan pembicaraan ini. Sepertinya aku meminta izin sekarang pun hanya memperkeruh suasana saja.
***  **** ***
            Matahari pagi yang membawa kehangatan di pagi ini menemaniku untuk mengawali akitifitas. Hari dimana aku mulai untuk membuka kotak mimpi dan membawanya ke gerbang realita. Ya, aku harus bulatkan tekad. Ini adalah waktu yang tepat untuk bisa merubah nasib. Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau berubah. Percaya atau tidak itu memang benar.
            “Mau kemana kamu Lara?”, tanya Bu Tarmi ibu kandung Lara.
            “Ya mau kerja dong bu, aku mau kemana lagi kalau bukan kerja”, jawabku dengan senyuman sambil meneguk segelas teh manis hangat.
            “Kamu mau daftar kuliah?, benarkan itu?”, tanya ibu dengan suara agak lantang.
            Aku yang masih sibuk meneguk teh hangat hanya membalas dengan gelengan kepala.
            “Jangan bohong, ibu melihat berkas-berkas pendaftaran kuliah kemarin di tas kamu. Buat apa kamu kuliah, kamu perempuan Lara, yang harusnya kuliah hanya laki-laki. Tugas kamu hanya bekerja dan nanti setelah kamu punya suami kamu hanya diam di dapur”.
            Jika yang dihadapanku bukan seorang wanita yang melahirkankanku. Sudah pasti habislah dia kutampar mulutnya. Kemarahanku benar-benar sudah di ubun-ubun.
            . “Kamu kuliah mau pakai apa Lara, gaji kamu saja tidak cukup untuk membiayai kehidupan, sudahlah tidak perlu kuliah, toh tanpa kuliah pun kita masih bisa makan”
            “Bu, saya juga punya mimpi. Sama seperti anak-anak yang lain yang menginginkan kuliah. Apa salah kalau seorang wanita kuliah. Kenapa harus berujung ke dapur. Apa memang sudah takdirnya wanita di dapur. Sekarang saya tanya, apakah ibu akan selalu menjadi dapur untuk ayah, enggak kan bu?, apa saya juga harus senasib dengan ibu. Ditinggalkan suami bekerja tetapi malah laki-laki itu pergi tanpa kabar berita. Dan ibu dsini hanya mengemis-ngemis pada anaknya?,” suaraku mulai parau, dadaku mulai sesak. Bulir airmata sengaja kutahan agar tidak terlihat lemah. Karena buat aku airmata hanyalah lambang kelemahan seorang wanita.
            Tangan halusnya mendarat cepat di pipiku. Pipi yang dahulu sering dimanja oleh ibu malah sekarang beliau tampar dengan hebatnya, “plakk”. Lututku begitu lemas, hati ini benar-benar bergetar. Sesak yang benar-benar sesak.
            “Pengemis?, kamu lupa, sekarang pun kamu masih mengemis sama saya. Kamu masih mengemis kasih sayang dari saya. Ibu kamu. Ingat 20 tahun yang lalu Lara. Saat kamu masih berada di kandungan saya. Kamu pun sama seperti saya sekarang. Hanya seorang pengemis. PENGEMIS”, kata-kata tajam dengan penekanan yang kuat.
            Kata-kata hebat kedua yang membuat sengatan dendam baru dalam hidupku. Ingin aku katakan bahwa aku memang pengemis. Tapi aku ini hanya  fakir yang merindukan kesuksesan. Hanya itu ibu. Aku hanya ingin kuliah. Aku akan buktikan nantikepada anak-anakku bahwa aku bukanlah pengemis. Dahulu sengatan dendam itu muncul saat semua orang bilang “Hei, Lara kamu kuliah bukan merubah hidup kamu menjadi seorang yang sukses, malah itu hanya mempersulit hidup kamu karena terbelit hutang sana sini untuk membiayai kuliah dan akhirnya kamu DO”. Kata-kata yang membuatku rapuh akan kata maaf bagi orang-orang yang mengeluarkan Desperate statement tersebut. Jangan harap sengatan-sengatan itu bisa merontokkan semua impianku, karena sengatan-sengatan itu menghasilkan sebuah motivasi baru dalam hidupku.